Sehingga, etos kerja identik dengan sekedar mendapatkan uang dan penghasilan semata. Tanpa dihayati dan dicerna oleh sanubari. Status sebagai pekerja kemudian disandang laksana sebuah robot.
Semakin canggih dunia Ilmu Pengetahuan Ilmiah(Sains) dan teknologi, semakin cenderung berhadapan dengan produktifitas. Hasil kerja yang maksimal, dengan semakin efisiensi tenaga yang semakin minim. Artinya, dunia kerja hanya mementingkan hasil, tanpa memperhatikan nilai semangat keikhlasan dari jiwa para pekerja dan pengalaman.
Dalam tradisi keislaman, kita dihadapkan untuk mengukir prodiktifitas dengan ikhlas. Ikhlas yang bermakna penuh kerelaan semata-mata karena Allah dalam berinteraksi beraktifitas apa saja. Dan juga bermaknamenyatunya jiwa raga pekerja dengan materi kerja yang dilakoninya. Misalnya para pekerja pembuat jalan atau jembatan, hendaknya bukan hanya sekedar siap, tapi berusaha menyatukan perasaannya dengan pengguna jalan dan jembatan tersebut. Bukan sekedar bekerja, mendapatkan gaji dan hasil. Tanpa menghayati kualitas proyek yang dikerjakan.
Kini, kita menyaksikan para pekerja hanya untuk kerjaan. Job for job. Bekerja untuk pekerjaan. Bekerja hanya untuk berpenghasilan. Padahal, jika ditambah dengan spirit keikhlasan, maka disana akan lahir keberkahan. Berkah itu lahir dari kristalisasi kesungguhan bekerja dan keikhlasan yang maksimal. ''Man jadda wajadda''( barang siapa siapa bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya) begitulah pepatah arab mengatakan kendati bukan hadits tapi begitu selaras dengan sunatullah.*
0 komentar:
Post a Comment